Sudahkah Kita Mendalami Makna Islam?
Sudahkah Kita Mendalami Makna Islam?
Salah satu nikmat Allah yang wajib kita syukuri adalah nikmat memeluk agama Islam. Islam merupakan satu satunya agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sekian banyak agama dan kepercayaan yang ada di tengah-tengah manusia di dunia ini. Di dalam al-Qur’an, dengan tegas Allah Ta’ala menyebutkan bahwa barangsiapa yang menjadikan selain Islam sebagai agamanya, maka hal tersebut tidak akan diterima oleh Allah dan dia akan menjadi orang-orang yang merugi (dimasukkan ke dalam neraka) di hari kiamat kelak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran (3): 19)
Dan juga firmanNya:
٨٥. وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran (3): 85)
Merupakan nikmat yang patut kita syukuri pula, ketika kita bisa hidup di suatu negeri yang mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin. Karena dengan hal itu kita bisa mendapatkan banyak kemudahan dalam melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, atau ibadah-ibadah yang lainnya tanpa ada tekanan dari pihak tertentu. Akan tetapi, ada suatu fenomena yang kadang membuat kita sedih dari keadaan masyarakat kita di negeri ini, yaitu banyaknya dari kaum muslimin yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim, seperti meninggalkan shalat lima waktu, zakat, dan kewajiban-kewajiban yang lainnya: tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa udzur syar’i. Yang lebih parahnya adalah banyak dari mereka yang melakukan hal ini dengan tanpa merasa berdosa akan perbuatannya tersebut, na’udzubillahi min dzalik.
Banyak juga di antara mereka yang masih melakukan praktek-praktek kesyirikan. Ketika mereka ditanya, “Apa agama Anda?” Mereka menjawab, “Islam“. Hal ini ternyata hanya sebatas pengakuan semata, karena pada kenyataannya mereka itu tidak shalat, puasa, menunaikan zakat, atau tidak melakukan ibadah-ibadah wajib yang lainnya.
Salah satu sebab terjadinya fenomena ini adalah karena banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengetahui apa itu Islam. Dan apa saja konsekuensi yang harus dilakukan ketika mereka beragama Islam. Maka dari itu, perlu sekiranya kami membahas sebuah tema yang berkaitan dengan makna Islam yang sesungguhnya agar kita bisa lebih memahaminya dengan baik.
Penjelasan tentang Makna Islam
Para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah mendefinisikan makna Islam dalam kitab-kitab karangan mereka. Salah satu definisi Islam yang disebutkan oleh para ulama adalah:
الإِسْلاَمُ هُوَ الاِسْتِسْلاَمُ لِلَّهِ بِالتَّوْحِيْدِ، والاِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّاعَةِ، وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ وَأَهْلِهِ.
“Islam adalah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dengan mengEsakanNya, dan tunduk serta patuh terhadapNya dengan melaksanakan ketaatan (melaksanakan syari’atNya), serta berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.” (Al-Ushul ats-Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Sulaiman at-Tamimi)
Dari definisi di atas, kita bisa mengetahui, bahwa di dalam makna Islam terdapat tiga unsur pokok yaitu:
1. Menyerahkan diri kepada Allah dengan mengEsakanNya.
Maksudnya adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah dengan cara hanya beribadah kepadaNya semata dan tidak beribadah kepada selainNya. Segala bentuk ibadahnya juga harus diniatkan dan ditujukan hanya kepada Allah Ta’ala semata. Inilah salah satu bentuk pengamalan tauhid.
Seorang muslim juga wajib menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan atau perkara-perkara yang bisa menghantarkan seseorang ke dalam kesyirikan, seperti yang masih banyak kita jumpai di masyarakat kita, yaitu adanya sebagian orang yang masih mempercayai atau menggantungkan nasibnya dengan ramalan bintang (zodiak), atau mendatangi dukun, tukang sihir, peramal, dan paranormal untuk menanyakan tentang masalah-masalah ghaib (yang sebenarnya hanya Allah sajalah yang mengetahui); seperti: meminta diramalkan jodoh dan karirnya, meminta jimat untuk melariskan dagangan atau sebagai penolak bala, dan lain sebagainya. Semua perbuatan ini adalah termasuk perkara syirik yang dilarang dalam Islam karena merupakan suatu bentuk menggantungkan urusan dan pengharapan pada sesuatu selain kepada Allah Ta’ala.
Berkaitan dengan hal di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan secara gamblang dalam Hadits yang dibawakan oleh Sahabat Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan dari golongan kami orang-orang yang ber-tathayyur (meramal kesialan) atau minta dilakukan tathayyur terhadapnya, atau orang yang melakukan praktek perdukunan atau mendatangi dukun (menanyakan hal yang akan datang), atau melakukan sihir atau minta disihirkan. Barangsiapa mendatangi dukun lalu ia mempercayai apa yang dikatakannya, berarti dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bazzar no. 3578)
Dalam Hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً.
“Barangsiapa yang mendatangi peramal kemudian bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim no. 5821)
2. Tunduk serta patuh terhadapNya dengan melaksanakan ketaatan.
Artinya, seorang muslim harus menundukkan segala bentuk ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah Ta’ala dan RasulNya yang berupa ibadah-ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, haji (bagi yang mampu), atau ibadah-ibadah yang lainnya. Kemudian agar ibadah yang kita lakukan diterima oleh Allah, sebelum kita melakukannya maka kita harus terlebih dahulu mengetahui apakah ibadah yang akan kita lakukan tersebut sudah sesuai dengan syari’at Allah dan RasulNya atau belum? Dan apakah dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya pernah mengamalkannya atau tidak? Apabila tidak, maka kewajiban kita adalah meninggalkannya. Karena salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala adalah dengan cara menaati petunjuk RasulNya yang mulia.
Seorang muslim harus mengetahui bahwa segala bentuk ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tertolak dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala, dan otomatis amalan tersebut akan menjadi amalan yang sia-sia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak.” (HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 4492)
Dalam urusan ibadah cukuplah kita jadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan dan suri teladan. Sebab beliau adalah manusia terbaik di muka bumi ini. Beliau juga adalah sosok yang ma’shum (terbebas dari kesalahan). Setiap yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merupakan wahyu dari Allah Ta’ala yang dijamin kebenarannya.
Jangan sampai kita berperilaku seperti orang-orang jahiliyyah yang lebih mengedepankan ketaatan kepada bapak-bapak atau nenek moyang mereka daripada ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Karena tidaklah semua yang dibawa oleh nenek moyang kita itu benar dan sesuai dengan syari’at Allah dan RasulNya. Allah Ta’ala telah menggambarkan perilaku orang-orang jahiliyyah ini dalam firmanNya:
١٠٤. وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. al-Ma’idah (5): 104)
3. Berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.
Ulama sepakat bahwa syirik adalah dosa paling besar yang pelakunya tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala apabila tidak segera bertaubat kepadaNya. Dan Allah mengancam pelaku kesyirikan dengan memasukkannya ke dalam neraka.
Begitu banyak bentuk kesyirikan yang beredar di masyarakat yang terkadang kita tidak menyadarinya, seperti perilaku beberapa orang yang meminta-minta kepada orang shalih yang sudah mati, menggantungkan jimat dengan tujuan sebagai pengundang kebaikan ataupun sebagai penolak bala, menyembelih untuk ditujukan kepada jin penunggu Gunung Merapi (dst), sembelihan/sesaji untuk sedekah laut (termasuk sedekah bumi), dan yang semisalnya.
Setelah bisa berlepas diri dari perbuatan syirik, maka seorang muslim juga harus bisa berlepas diri dari para pelakunya. Karena tidaklah sempurna tauhid seseorang sampai ia bisa berlepas diri dari keduanya. Salah satu bentuk berlepas diri dari para pelaku kesyirikan adalah dengan tidak mengucapkan selamat hari raya kepada orang-orang di luar agama Islam, juga dengan tidak menghadiri acara-acara yang mereka adakan serta acara-acara yang ada unsur kesyirikannya yang banyak beredar di masyarakat. Karena jika kita memberi ucapan selamat kepada mereka atau menghadiri kegiatan keagamaan mereka, berarti kita menyetujui dan ridha dengan hal tersebut.
Begitulah kesyirikan, terkadang samar dan tak terlihat secara langsung, namun hal itu sungguh sangat membinasakan. Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sebuah doa agar terhindar dari segala bentuk kesyirikan, baik yang kita lakukan secara sadar ataupun yang tidak sadar. Doa tersebut berbunyi:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari perbuatan menyekutukanMu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepadaMu dari apa yang tidak aku ketahui (sadari).” (HR. Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad no. 716)
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai seorang muslim yang benar-benar mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan menggolongkan kita ke dalam barisan orang-orang yang bertauhid bersama para Nabi dan Rasul, serta orang-orang shalih lainnya. Aamiiin.
Penulis: Ustadz Muadz Mukhadasin, M.Pd. حفظه الله
9ms1we