Bagaimana Menata Diri?
Bagaimana Menata Diri?
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut kami sajikan pembahasan tentang menata diri, semoga Allah menjadikan risalah ini ditulis ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Urgensi Menata Diri
Seorang muslim meyakini, bahwa kebahagiaannya di dunia dan di akhirat terletak pada sejauh mana ia mampu menata dirinya, menyucikannya, dan membinanya di atas kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا- وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,–Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams: 9-10)
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa–Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian,—kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal saleh dan saling nasehat-menasehati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasehat-menasehati untuk (berlaku) sabar.“ (QS. Al-Ashr: 1-3).
Demikian pula berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَايِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
“Semua manusia bekerja, maka di antara mereka ada yang menjual dirinya; ada yang memerdekakannya atau membuatnya binasa.” (HR. Muslim)
«كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: «مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى»
“Setiap umatku akan masuk surga kecuali mereka yang enggan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka yang enggan itu?” Beliau menjawab, “Orang yang menaatiku akan masuk surga, sedangkan orang yang mendurhakaiku itulah orang yang enggan (masuk surga).” (HR. Bukhari)
Demikian pula seorang muslim meyakini, bahwa yang dapat membuat dirinya bersih, baik, dan suci adalah iman dan amal saleh, sedangkan sesuatu yang mengotorinya adalah kekafiran dan kemaksiatan. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِّنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Huud: 114)
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 14)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ» {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ} [المطففين: 14] .
“Sesungguhnya seorang hamba apabila berbuat satu dosa, maka akan muncul noktah hitam. Ketika dia berhenti, beristighfar, dan bertobat, maka akan mengkilap lagi hatinya. Dan jika ia mengulangi lagi, maka akan ditambah lagi noktahnya sehingga menutupi hatinya. Itulah Ar Raan yang disebutkan Allah, “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (Terj. QS. Al Muthaffifin: 14).” (Hadits ini dinyatakan hasan shahih oleh Tirmidzi, dan dihasankan oleh Al Albani).
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik akan menghapusnya, dan bergaullah terhadap orang lain dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim, Baihaqi dalam Asy Syu’ab dan Ibnu ‘Asakir, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 97)
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, maka seorang muslim berusaha menata dirinya dengan membinanya di atas kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dirinya lebih berhak ditata lebih dulu daripada selainnya. Demikian pula ia menjauhkan dirinya dari segala yang menodainya berupa akidah yang rusak serta berbagai kemaksiatan. Ia berjihad melawan nafsunya siang dan malam meskipun nafsunya lebih senang kepada kemaksiatan dan mengintrospeksi dirinya di setiap saat. Ia membawa dirinya mengerjakan ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan.
Langkah-Langkah Menata Diri
Berikut ini langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menata diri:
1. Bertobat
Tobat maksudnya meninggalkan dosa dan maksiat, menyesalinya, dan berniat keras untuk tidak mengulanginya lagi. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللهِ، فَإِنِّي أَتُوبُ، فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ، مَرَّةٍ»
“Wahai manusia! Bertobatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.” (HR. Muslim)
Tobat merupakan tangga pertama yang harus ditempuh oleh orang yang mengutamakan negeri akhirat, dan dengan tobat dosa-dosanya akan terhapuskan sehingga batinnya menjadi bersih dan suci.
2. Muraqabah
Muraqabah maksudnya seorang muslim merasa diawasi Allah Ta’ala dalam setiap detik kehidupannya, sehingga dia tetap beramal saleh baik di saat sepi maupun ramai dan takut bermaksiat kepada-Nya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِن قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوداً إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاء وَلاَ أَصْغَرَ مِن ذَلِكَ وَلا أَكْبَرَ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Kamu tidaklah berada dalam suatu keadaan dan tidak pula membaca suatu ayat dari Al Quran, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu mespun sebesar zarrah (debu) di bumi maupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 61)
إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa’: 1)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang ihsan, maka Beliau menjawab,
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Yaitu engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak merasakan begitu, ketahuilah bahwa Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Sufyan Ats Tsauriy rahimahullah berkata, “Hendaknya engkau merasa diawasi oleh Tuhan yang tidak ada satu pun tersembunyi bagi-Nya. Hendaknya engkau tetap berharap kepada Tuhan yang berkuasa memenuhi janji-Nya, dan hendaknya engkau berhati-hati kepada Tuhan yang berkuasa memberikan siksaan.”
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Hadirkanlah perasaan diawasi Allah wahai fulan!” Lalu orang itu bertanya kepadanya tentang muraqabah, maka ia menjawab, “Tetaplah kamu merasakan bahwa kamu melihat Allah Azza wa Jalla.”
Abdullah bin Dinar berkata, “Aku pernah keluar bersama Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ke Mekkah, lalu kami beristirahat sejenak. Tiba-tiba ada seorang penggembala turun dari gunung, lalu Umar berkata kepadanya, “Wahai penggembala! Juallah kepada kami kambing-kambing ini.” Penggembala itu menjawab, “Saya seorang budak.” Umar pun berkata kepadanya, “Katakanlah kepada tuanmu, bahwa kambing-kambing ini dimakan serigala.” Maka budak itu langsung menjawab, “Kalau begitu di mana Allah?” Umar pun langsung menangis dan mendatangi tuannya kemudian membeli budak itu dan memerdekakannya.
Catatan: Riwayat ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa dzat Allah berada di mana-mana, karena Dzat-Nya bersemayam di atas Arsyi-Nya, adapun maksud “kalau begitu di mana Allah?” adalah bahwa tindakan mereka tidak lepas dari penglihatan dan pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu.
Al Junaid rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana caranya agar kamu dapat menundukkan pandangan?” Ia menjawab, “Yaitu dengan perasaanmu, bahwa pandangan Allah lebih mendahului daripada pandanganmu kepada wanita yang kamu lihat.”
3. Muhasabah (introspeksi diri)
Saat seorang muslim melakukan berbagai amalan di malam dan siang hari agar ia memperoleh kebahagiaan di akhirat, dan agar dirinya mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Ta’ala dan keridhaan-Nya, dimana dunia adalah ladang amalnya, maka hendaknya ia juga memperhatikan kewajibannya seakan-akan seperti seorang pedagang melihat modalnya, dan melihat amalan sunah seakan-akan seperti pedagang melihat laba di luar modalnya. Dan saat ia melihat kemaksiatan dan dosa-dosa, maka ia melihatnya seakan-akan sebagai sebab kerugian dalam perdagangannya, selanjutnya ia pun memperhatikan dirinya sejenak di akhir harinya untuk menghisab amalnya pada hari itu. Jika dilihatnya ia kurang memenuhi kewajiban, maka ia menyalahkan dirinya dan berusaha menutupnya segera. Jika amalan itu termasuk amalan yang dapat diqadha, maka ia qadha, dan jika tidak termasuk amalan yang bisa diqadha’, maka ia tutupi dengan banyak melakukan amalan sunah. Saat ia melihat kurang dalam mengerjakan amalan sunah, maka ia menutupinya, dan saat ia melihat kerugian disebabkan kemaksiatan yang dilakukannya, maka ia segera beristighfar, menyesali perbuatannya, kembali kepada Allah, dan melakukan perbuatan baik yang dipandangnya dapat memperbaiki apa yang dirusaknya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr: 18)
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”
Oleh karenanya, Beliau ketika di malam hari memukul kakinya dengan tongkat dan berkata kepada dirinya, “Mengapa engkau melakukan hal itu pada hari ini?”
Disebutkan, bahwa Abu Thalhah ketika disibukkan oleh kebunnya sehingga tertinggal shalat, maka ia sedekahkan kebunnya itu karena Allah. Beliau tidaklah melakukan hal itu melainkan sebagai bentuk muhasabah terhadap dirinya.
Diriwayatkan dari Ahnaf bin Qais, bahwa ia pernah mendatangi pelita dan meletakkan jarinya di atas pelita itu sehingga merasakan panasnya, lalu berkata kepada dirinya, “Wahai Ahnaf! Apa yang mendorongmu melakukan hal ini pada hari itu? Apa yang mendorongmu melakukan hal ini pada hari itu?”
Disebutkan, bahwa ada seorang yang saleh mendatangi padang pasir yang panas lalu berguling-guling di atasnya sambil berkata kepada dirinya, “Rasakanlah! Neraka Jahannah lebih panas lagi; mengapa engkau sebagai bangkai di malam hari dan pengangguran di siang hari?”
Demikianlah keadaan orang-orang yang saleh di kalangan umat ini, mereka hisab diri mereka ketika mereka lalai, dan mencelanya karena kekurangannya, mereka berusaha menekan dirinya untuk bertakwa dan menahannya dari keinginan hawa nafsunya sebagai bentuk pengamalan firman Allah Ta’ala,
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى- فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya–Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (Terj. QS. An Naazi’at: 40-41)
4. Mujahadah
Maksudnya adalah seorang muslim mengetahui bahwa musuh terdekatnya adalah hawa nafsunya yang cenderung kepada keburukan, lari dari kebaikan, dan suka menyuruh kepada kemaksiatan. Oleh karenanya, ia pun melawannya dengan tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya itu. Saat hawa nafsunya lebih suka bermalas-malasan, maka ia lawan dengan semangat beramal saleh. Saat dirinya lebih suka mendatangi syahwat yang diharamkan, maka ia cegah dan mengarahkannya kepada yang dihalalkan. Saat hawa nafsunya meremehkan ketaatan atau kebaikan, maka ia salahkan dan ia cela, lalu menekannya untuk melakukan ketaatan atau kebaikan itu, serta mengqadha kebaikan yang luput atau yang ditinggalkannya itu. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69)
Sikap seorang muslim melawan hawa nafsunya adalah karena yang demikian adalah jalan yang ditempuh orang-orang saleh terdahulu dan jalan orang-orang mukmin yang jujur imannya. Ia tempuh jalan itu mengikuti jejak mereka.
Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Beliau melakukan shalat malam hingga bengkak kedua kakinya, saat ditanya tentang sikapnya itu, maka Beliau menjawab, “Apakah tidak pantas bagiku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”
Inilah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku telah memperhatikan para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata tidak ada yang menyamai mereka. Pada pagi hari rambut mereka kusut dan berdebu lagi pucat karena malam harinya mereka isi dengan sujud dan qiyamullail, mereka membaca kitab Allah antara kaki dan dahi mereka. Saat disebut nama Allah, maka mereka miring seperti miringnya sebuah pohon di hari yang sangat kencang anginnya. Air mata mereka bercucuran sehingga membasahi bajunya.”
Abu Darda berkata, “Kalau bukan karena tiga hal, aku tidak suka hidup (di dunia) walau sehari pun, yaitu: haus karena Allah di siang hari, sujud kepada-Nya di malam hari, dan duduk bersama orang-orang yang memilih ucapan yang baik-baik saja dalam berbicara sebagaimana mereka memilih buah yang baik-baik.”
Disebutkan, bahwa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menyalahkan dirinya karena tertinggal shalat Ashar berjamaah, lalu ia sedekahkah tanahnya yang bernilai 12.000 dirham karena hal itu.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ketika tertinggal shalat berjamaah menutupinya dengan shalat semalaman suntuk. Ia juga pernah menunda shalat Maghrib hingga muncul dua bintang, maka ia pun memerdekakan dua budaknya.
Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Semoga Allah merahmati orang-orang yang disangka sakit, padahal mereka tidak sakit. Hal itu hanyalah karena bekas perlawanan terhadap hawa nafsu yang mereka lakukan.”
Tsabit Al Bannaniy rahimahullah berkata, “Aku mendapatkan beberapa orang yang ketika shalat sampai tidak bisa mendatangi tempat tidurnya melainkan dalam keadaan merangkak.”
Istri Masruq berkata, “Masruq tidak ditemukan melainkan dalam keadaan betisnya mengembung karena lama berdiri. Demi Allah, aku ingin duduk di belakangnya saat ia berdiri shalat untuk menangis karena kasihan kepadanya.”
Disebutkan, bahwa ada seorang wanita dari kalangan kaum salaf bernama Ajrah yang telah buta matanya. Ketika waktu sahur tiba, ia menyeru dengan suara sedih, “Kepada-Mu ya Allah, para Ahli ibadah menjalani malam harinya dengan ibadah karena bersegera mencapai rahmat-Mu, mengharap karunia ampunan-Mu. Kepada-Mu wahai Tuhanku aku meminta; tidak kepada selain-Mu, yaitu agar Engkau menjadikanku termasuk rombongan pertama golongan As Sabiqun (terdepan), agar Engkau mengangkatku ke tempat yang tinggi di sisi-Mu, yaitu pada derajat Al Muqarrabun (orang-orang yang didekatkan dengan Allah), dan agar Engkau menghubungkan diriku dengan hamba-hamba-Mu yang saleh. Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Agung lagi Maha Mulia. Wahai Yang Maha Pemberi.” Ia pun tersungkur sujud sambil berdoa dan menangis hingga tiba waktu fajar.
Khatimah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Siapakah manusia yang paling baik?” Maka Beliau menjawab,
«مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ عَمَلُهُ»
“Yaitu orang yang panjang usianya dan baik amalnya.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa a’ala aalihi wa shahbihi wa sallam
Penulis: Ustadz Marwan Hadidi, M.Pd.I. حفظه الله
ixih91