Amalan

Bahas Ringkas Kesalahan Dalam Sholat (Bag 1)

Kesalahan-Kesalahan dalam Shalat (Bag. 1)

Shalat memiliki posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia merupakan tiang agama serta pembatas antara keimanan dengan kekufuran dan kemunafikan. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan pelaksanaan shalat. Beliau memberikan teladan yang mendetail dalam setiap tahap shalat, mulai dari takbir hingga salam.

Lantas apa urgensi bagi kita mempelajari kesalahan-kesalahan dalam shalat?

Pertama, agar kita dapat mengerjakan shalat sesempurna dan sebaik mungkin. Kita tentu berharap agar shalat yang kita kerjakan setiap harinya dapat kita persembahkan kepada Allah Ta’ala dalam kondisi yang sebaik mungkin. Bahkan para ulama menilai hal tersebut adalah indikator baiknya keIslaman seseorang. Seseorang yang baik shalatnya, baik pula Islamnya. Begitu pula sebaliknya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Hanyasanya porsi mereka terhadap Islam sesuai dengan kadar porsi mereka terhadap shalat, keinginan mereka terhadap Islam sesuai dengan kadar keinginan mereka untuk shalat. Maka kenalilah dirimu wahai hamba Allah, waspadalah jika engkau bertemu dengan Allah ‘azza wa jalla sementara tidak ada kadar Islam dalam dirimu. Karena sungguh kadar Islam dalam hatimu adalah sebagaimana kadar shalat dalam hatimu”.

Kedua, agar kita dapat membantu menyempurnakan shalat orang lain yang belum sempurna shalatnya. Tentunya dengan cara yang baik, santun, dan dimulai dari lingkaran terdekat kita seperti suami/istri, anak-anak, saudara, orang tua, dan kerabat. Baru kemudian sahabat, rekan kerja, kolega, dan orang lain.

Mengapa kita perlu mengingatkan kesalahan shalat orang lain? Bukankah cukup dengan menyempurnakan shalat kita saja? Ibn Qayyim al Jauziyyah rahimahullah menjelaskan,
“Ketahuilah oleh kalian bahwasanya jika ada seorang yang baik shalatnya, menyempurnakannya dengan hukum-hukumnya. Kemudian ia lihat seorang yang mengerjakan shalat dengan tidak sempurna, seperti mendahului imam, kemudian ia mendiamkannya dan tidak memberitahu kesalahan dalam shalatnya, tidak memberitahu bahwa ia tidak seharusnya mendahului imam, tidak melarang dan menasihati darinya, maka sesungguhnya ia telah bersekutu dengannya dalam dosa. Seorang yang baik shalatnya, bersekutu dalam dosa dengan seorang yang tidak sempurna shalatnya jika ia tidak melarang dan menasihatinya” (lihat Al Qaulul Mubin fi Akhtha’il Mushallin karya Masyhur Hasan Alu Salman)
Berikut adalah beberapa kesalahan seputar shalat yang masih kerap dijumpai di sekitar kita :

1. Meninggalkan Shalat Secara Total

Ini adalah salah satu bentuk kekafiran berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin seluruhnya. Sangat disayangkan banyak kaum muslimin yang masih belum tergerak hatinya untuk mengerjakan shalat. Baik itu sebagian shalat maupun keseluruhan shalat lima waktu. Padahal orang tuanya Islam, saudara-saudarinya Islam, bahkan terkadang anaknya juga disekolahkan di sekolah Islam! Namun ia belum tergerak untuk ikut mengerjakan shalat karena berbagai sebab diantaranya pergaulan yang tidak baik. Padahal Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang yang menegakkan shalat itulah saudara seagama dalam Islam. Demikian pula sebaliknya.

فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِۗ
“Jika mereka bertaubat, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudaramu dalam agama.” (QS. At Taubah : 11)

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?. Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat” (QS. Al Muddassir : 42-43)

Berdasarkan As Sunnah terdapat beberapa hadits yang menjelaskan hal ini.
إن بين الرجل وبين الشرك والكفر: تركَ الصلاة
“Sesungguhnya pembatas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran ialah meninggalkan shalat” (HR Muslim)

Berdasarkan ijma’ dinukil dari Abdullah ibn Syaqiq radhiyallahu ‘anhu bahwa para shahabat tidak menilai satupun amalan yang jika ditinggalkan akan berkonsekuensi menyebabkan kekafiran, kecuali shalat. Diriwayatkan dari At Tirmidzi dan selainnya dengan sanad yang shahih.
Para ulama menjelaskan perincian dalam hal apakah seseorang yang meninggalkan shalat divonis kafir secara mutlak ataukah tidak :

a. Meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya
Mereka yang meninggalkan shalat karena sadar dan menentang status wajibnya shalat, kafir menurut ijma’ kaum muslimin. Bahkan jika mereka mengerjakan shalat namun dalam hatinya ia menentang kewajiban shalat maka ia tetap kafir. Dikecualikan dari hal ini jika ia baru saja masuk Islam dan belum mengetahui kewajiban shalat, maka ia tidak dikafirkan kecuali setelah diberikan penjelasan dan terangkat kejahilannya.

b. Meninggalkan shalat karena meremehkan dan malas mengerjakannya
Mereka yang meninggalkan shalat bukan karena menentang kewajibannya namun karena malas dan meremehkan, mereka tidaklah kafir sebagaimana perkataan beberapa ulama seperti Abu Hanifah dan ulama mazhab Hanafi, Malik dan sekelompok ulama Kuffah, Sufyan Ats Tsauri, Al Muzanni As Syafi’i, dan pendapat ini dinisbatkan sebagai pendapat jumhur ulama. Akan tetapi hal ini merupakan dosa besar yang pelakunya terancam masuk neraka.

2. Menunda Shalat Hingga Keluar Waktu

Ini merupakan kesalahan yang umum dilakukan oleh masyarakat hingga dianggap biasa. Mereka sudah melaksanakan shalat lima waktu, namun belum tergerak mengerjakannya di awal waktu, bahkan menundanya hingga terlewat waktunya.

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

“Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin” (QS. An Nisaa’ : 103)

As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Yaitu diwajibkan pada waktunya, ini menunjukkan atas wajibnya shalat, dan bahwasanya shalat memiliki waktu yang tidak sah kecuali dikerjakan pada waktu tersebut. Itulah waktu yang telah ditetapkan atas kaum muslimin seluruhnya baik yang kecil maupun yang tua, yang berilmu maupun yang jahil”.
Menunda mengerjakan shalat hingga keluar waktunya ialah ciri shalatnya orang munafik. Bagaimana shalatnya orang munafik itu? Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا

“Itulah shalat (yang biasanya ditelantarkan) orang munafik (yaitu shalat Ashar –pen), ia duduk mengamat-amati matahari, jika matahari telah berada diantara dua tanduk setan, ia melakukannya dan ia mematuk empat kali (Rasulullah mempergunakan istilah mematuk, untuk menyatakan sedemikian cepatnya shalatnya, bagaikan ayam jago mematuk makanan -pent) ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (HR Muslim)

Oleh karena itu para ulama menjelaskan menunda shalat hingga keluar waktunya termasuk dalam dosa besar, kecuali jika ada udzur seperti ketiduran atau terlupa. Diantaranya Musa al Hajjawiy al Hambaliy (w. 895 H) yang memasukkan shalat wajib di luar waktunya sebagai dosa besar dalam Manzhumah al Kaba’ir.

3. Tidak Tuma’ninah dalam Shalat

Ini merupakan kesalahan paling umum yang tersebar di tengah masyarakat saat ini. Mereka sudah mengerjakan shalat lima waktu, bahkan secara berjamaah. Namun ketika shalat sendirian mereka mengerjakannya dengan tidak tuma’ninah. Padahal ini adalah kemaksiatan yang nyata karena tuma’ninah merupakan salah satu rukun dalam shalat yang tidak sah shalat seseorang jika tidak mengerjakannya. Diriwayatkan dari Abu Hurarirah radhiyallahu ‘anhu,

إنَّ رجلًا دخَل المسجدَ، ورسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم جالسٌ في ناحيةِ المسجدِ، فصلَّى ثم جاء فسلَّمَ عليه، فقال له رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: وعليك السَّلامُ، ارجِعْ فصَلِّ؛ فإنَّك لم تُصَلِّ، فرجَعَ فصلَّى ثم جاء فسلَّمَ، فقال: وعليك السَّلامُ، فارجِعْ فصَلِّ؛ فإنَّك لم تُصَلِّ، فقال في الثَّانيةِ، أو في التي بعدَها: علِّمْني يا رسولَ اللهِ، فقال: إذا قُمْتَ إلى الصَّلاةِ فأسبِغِ الوضوءَ، ثم استقبِلِ القِبلةَ فكبِّرْ، ثم اقرَأْ بما تيسَّرَ معك مِن القُرآنِ، ثم اركَعْ حتَّى تطمئِنَّ راكعًا، ثم ارفَعْ حتَّى تستويَ قائمًا، ثم اسجُدْ حتَّى تطمئِنَّ ساجدًا، ثم ارفَعْ حتَّى تطمئِنَّ جالسًا، ثم اسجُدْ حتَّى تطمئِنَّ ساجدًا، ثم ارفَعْ حتَّى تطمئِنَّ جالسًا، ثم افعَلْ ذلك في صلاتِك كلِّها

“Bahwasanya ada seseorang yang masuk masjid, dan Rasululluh shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di sisi masjid. Lalu lelaki itu shalat kemudian mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau membalas salamnya ‘Wa ‘alaikassalam, kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum mengerjakan shalat!’ la lalu kembali lagi dan mengulangi shalatnya. Kemudian ia datang lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengucapkan salam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Wa’alaikassalam. Kembali dan ulangi lagi shalatmu karena kamu belum mengerjakan shalat!’ Lalu orang tersebut shalat seperti itu sampai tiga kali. Setelah itu orang tersebut berkata, ‘Ajarilah aku wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lalu bersabda: ‘Jika kamu telah berdiri untuk shalat, maka perbagus wudhumu, menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah, kemudian bacalah Al-Qur’an yang mudah bagimu. Kemudian rukuklah hingga kamu tenang (thuma’ninah) dalam rukukmu dan bangkitlah dari rukuk hingga kamu berdiri tegak. Lalu sujudlah kamu hingga kamu tenang (thuma’ninah) dalam sujudmu, dan bangkitlah dari sujud hingga kamu tenang (thuma’ninah) dalam keadaan duduk. Kerjakanlah semua hal tersebut pada setiap shalatmu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Oleh karenanya para ulama menjelaskan bahwa tuma’ninah merupakan rukun shalat menurut kesepakatan empat mazhab, kecuali sebagian ulama mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa tuma’ninah hukumnya mustahab (anjuran). Namun hal ini bertentangan dengan hadits yang telah disebutkan di atas karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan dengan tegas untuk mengulangi shalat orang yang tidak tuma’ninah.
Adapun terkait kadar tuma’ninah maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa kadar tuma’ninah ialah berhenti sejenak di setiap gerakan baik duduk, rukuk, maupun sujud. An Nawawi rahimahullah berkata tentang definisi tuma’ninah dalam Al Majmu’,

وَتَجِبُ الطُّمَأْنِينَةُ في الركوع بلا خلاف لحديث ” المسئ صَلَاتَهُ ” وَأَقَلُّهَا أَنْ يَمْكُثَ فِي هَيْئَةِ الرُّكُوعِ حَتَّى تَسْتَقِرَّ أَعْضَاؤُهُ وَتَنْفَصِلَ حَرَكَةُ هُوِيِّهِ عَنْ ارْتِفَاعِهِ مِنْ الرُّكُوعِ

“Thuma’ninah hukumnya wajib dalam ruku’ tanpa ada perselisihan berdasarkan hadits orang yang jelek salatnya (yang telah disebutkan di atas –pen). Kadar minimal ‘thuma’ninah’ adalah berhenti sejenak dalam keadaan ruku’ sampai stabil anggota tubuhnya dan terpisah antara gerakan turun dengan gerakan naik saat ruku’.
Pendapat kedua sebagian ulama khususnya dari kalangan Hanabilah mengatakan kadar minimal thuma’ninah ialah mampu membaca dzikir wajib dalam gerakan seperti rukuk dan sujud minimal sekali baca. Contohnya membaca subhana rabbiyal ‘azhim saat rukuk dan subhana rabbiyal a’la saat sujud. Wallahu a’lam.

Semoga Allah karuniakan taufik kepada kita untuk menyempurnakan shalat dan menghindari kesalahan-kesalahan dalam shalat. Wallahul muwaffiq.

Penulis: Ustadz Yhouga Pratama حفظه الله

Artikel Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button